Aku diam dengan secangkir kopi di hadap. Lelakiku pun demikian. Senja masih tetap anggun dengan semburat kemerahannya, seperti biasa.
"Li, kau marah padaku?" Ucapnya memecah diam.
"Tidak"
"Lantas, kenapa sedari tadi diam? Kau tak ingin tumpahkan rindumu padaku? Kurasa dua bulan kita berjauhan cukup dijadikan alasan bagi kita untuk merindu."
Ada semburat kecewa di raut tampannya. "Na, aku ke toilet sebentar. Jangan pergi, tetaplah tunggu aku." Dan sebelum sempat dia bicara lekaslah aku berdiri, berjalan menuju toilet.
"Lama sekali," Ucapnya, sekiranya aku tiba di meja.
"Na, aku baru pergi lima belas menit dari dekatmu. Dan itu kau bilang lama? Tak usah cemberut, mukamu tak tampan lagi jika begitu."
"Na, tahukah betapa aku merindumu? Hingga akupun tak tahu harus bertingkah seperti apa waktu ini. Aku senang Na, aku senang bisa lihat kau lagi--" Tandasku.
"Li.."
"Diamlah Na, biarkan aku saja yang bicara"
"Baiklah.."
"Na, tahukah dua bulan ini Namamu ku sebut empat kali lebih sering dari biasanya dalam setiap doa. Ku baca setiap puisi yang kau tulis menjelang aku terlelap. Berharap rinduku bisa reda setidaknya sedikit. Namun nyatanya kian gebu. Na, aku rindu sekali. Penasarankah atas diamku tadi?" Ucapku sembari menyeka ujung mata kanan dan kiri.
"Li? Kau baik saja? Memang kenapa kau diam saja tadi? Ku pikir ada sikapku yang keliru."
"Aku baik Na, diamku tadi adalah proses mencairnya segala rindu yang selama dua bulan ini dingin membeku"
"Li peluklah aku, aku pun begitu rindu pelukmu" pintanya kemudian.
Kami pun berpelukan, lama lama selama rindu kami habis menetes.
"Li, bangun. Kenapa malah tidur di kelas?" Teriakan hancurkan mimpi.
.......
"Na, kapan kau kembali, mendekapku dalam gigil rindu yang semakin gebu."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar