Minggu, 30 November 2014

Bunga Untukmu, #4

Bukk. Ku rebahkan diri pada kasur. Memandang langit langit kamar sejenak, kemudian beralih pada satu bingkai, berlukis wanita anggun dengan dress selutut beserta senyum sejuk. "Bi, beberapa hari ini aku bertemu dengan wanita lain. Namanya Hana. Pertemuan ini terasa aneh Bi. Aku bingung".

Sumpah demi apapun aku belum bisa mengerti kenapa aku dipertemukan dengan wanita aneh bernama Hana itu. Dia sebutku pecundang dan aku tetap mau mengantarnya pulang. Menuruti maunya untuk menikmati senja. Lantas mau membalas ciumnya. Aih debarnya masih terasa hingga kini. Dalam sehari dia bisa ciumku tiga kali. Pergaulan yang bagaimana yang dianutnya selama ini.

"Bang, kau sudah pulang?"
"Ada apa?"
"Bunga yang kau pesan seperti biasanya sudah datang"
"Ambilkan untukku dek"
"Uangnya?"
"Masuklah"

Pintu bergerak mundur, adikku muncul setelahnya. Mukanya cemberut.

"Hei dek kenapa cemberut seperti itu?"
"Kenapa tidak ambil sendiri saja sih bang"
"Haha, sekali kali tak apalah ambilkan bunga untuk mbak Bintang"
"Kembaliannya untukku ya? Hehe"
"Baiklah, iya"

Adikku pun berlalu, tak lama kembali datang dengan setangkai bunga pada genggamnya.
"Ini bungamu hari ini mbak Bintang" diletakkannya setangkaian itu pada depan bingkai yang kupandangi tadi.

"Aih, kau manis sekali. Tapi bukankah itu tugasku?"
"Dan sekali kalipun tak apa jika aku yang sekalian berikan bunganya pada mbak Bintang, bukan?"
"Dasarr.. pergi sana"
"Haha, iya bang iya"

Bi, aku lelah sekali. Masa bodo dengan hadirnya Hana. Biar saja Tuhan yang atur jalannya. Selamat malam Bi, 

Bersambung...

Bunga Untukmu, #3

Bibir kami saling lepas, cumbuan berakhir. Pandangku kembali jelas setelah beberapa detik berlalu. Kurasa ada yang aneh pada dadaku sendiri. Detaknya kian menit kian tak karuan. "Kuasai diri, kuasai diri" teriak batin pada diri sendiri. Ku lirik wanita di sampingku, dia biasa saja. Kejadian barusan seperti tak pernah ada. Rautnya tetap tenang, bahkan lebih tenang dari sebelum tadi.

"Ga, pulang sekarang?"
"He?" Sebenarnya aku ingin berkata "Boleh" namun debar hebat pada dada hanya sukses luncurkan kata "He" terucap.
Hana memicingkan alisnya "Kau baik saja Ga?"
"Tentu saja, memang aku kenapa? Ayo kuantar pulang" ucapku setelah berhasil kuasai diri, dengan susah payah.
"Ok" lantas duduk di belakang kemudi; aku.

Rumah Hana lumayan jauh, kami tiba pukul setengah delapan malam.

"Thanks Ga. Mampir dulu?" Rona wajahnya berbeda, seperti bahagia namun entahlah. Bodo amat saja.
"Lain kali deh, udah malem balik dulu aja"
"Kenapa buru-buru begitu?"
Aih harus kujawab apa. "Aku ingin segera mandi Han, badanku lengket semua"
"Kalau begitu mandi di sini saja"
"Tidak terimakasih. Aku lebih senang mandi di rumah sendiri. Aku balik sekarang?" Kupicingkan alisku saja sebagai tanda aku ingin segera pulang. Semoga Hana termasuk wanita yang peka.
"Ok, Baiklah. Hati-hati di jalan Ga" kecupan itu mendarat lagi di pipiku, ahh wanita ini senang sekali menciumiku. Aku pun berlalu, meninggalkannya di belakang.

Hari ini melelahkan sekali. Aku harus menerka banyak hal mengenai Hana. 

Bersambung...

Jumat, 28 November 2014

Aku

Aku bukan penyair handal
Yang punya ribuan diksi
Yang pandai menyiratkan arti
Yang indah dalam menyusun bait
Pun yang rapih mengatur rima

Aku hanyalah aku
Yang menulis tanpa berpikir muluk
Pun tulisannya tidak sebegitu indah

Aku,
Miliki satu garis kata berjejer
Dan itu untukmu
:Tuan, hatiku jatuh padamu

Rindu

Aku diam dengan secangkir kopi di hadap. Lelakiku pun demikian. Senja masih tetap anggun dengan semburat kemerahannya, seperti biasa.

"Li, kau marah padaku?" Ucapnya memecah diam.
"Tidak"
"Lantas, kenapa sedari tadi diam? Kau tak ingin tumpahkan rindumu padaku? Kurasa dua bulan kita berjauhan cukup dijadikan alasan bagi kita untuk merindu."

Ada semburat kecewa di raut tampannya. "Na, aku ke toilet sebentar. Jangan pergi, tetaplah tunggu aku." Dan sebelum sempat dia bicara lekaslah aku berdiri, berjalan menuju toilet.

"Lama sekali," Ucapnya, sekiranya aku tiba di meja.
"Na, aku baru pergi lima belas menit dari dekatmu. Dan itu kau bilang lama? Tak usah cemberut, mukamu tak tampan lagi jika begitu."
"Na, tahukah betapa aku merindumu? Hingga akupun tak tahu harus bertingkah seperti apa waktu ini. Aku senang Na, aku senang bisa lihat kau lagi--" Tandasku.
"Li.."
"Diamlah Na, biarkan aku saja yang bicara"
"Baiklah.."
"Na, tahukah dua bulan ini Namamu ku sebut empat kali lebih sering dari biasanya dalam setiap doa. Ku baca setiap puisi yang kau tulis menjelang aku terlelap. Berharap rinduku bisa reda setidaknya sedikit. Namun nyatanya kian gebu. Na, aku rindu sekali. Penasarankah atas diamku tadi?" Ucapku sembari menyeka ujung mata kanan dan kiri.
"Li? Kau baik saja? Memang kenapa kau diam saja tadi? Ku pikir ada sikapku yang keliru."
"Aku baik Na, diamku tadi adalah proses mencairnya segala rindu yang selama dua bulan ini dingin membeku"
"Li peluklah aku, aku pun begitu rindu pelukmu" pintanya kemudian.

Kami pun berpelukan, lama lama selama rindu kami habis menetes.

"Li, bangun. Kenapa malah tidur di kelas?" Teriakan hancurkan mimpi.

.......

"Na, kapan kau kembali, mendekapku dalam gigil rindu yang semakin gebu."

Kamis, 27 November 2014

Melepas Lalu #2

"Nona, nona!" Teriakan sadarkanku dari lamunan. "Ya?" Sahutku singkat.

"Ini ponselnya, terimakasih" ucapnya kemudian

"Iya, namamu tadi siapa?" Aaakk bodoh kenapa ku tanyakan ini.

"Mara nona. Nona sendiri?"

"Pita"

Kami pun membincangkan banyak hal. Tentang hidupnya, juga hidupku. Mara menyenangkan juga tentusaja tampan.

"Pita, sudah gelap ayo kuantar pulang. Rumahmu di dekat sini kan?"

"Eh? Bagaimana bisa tau?"

"Kau tau aku adalah peramal sebenarnya. Jangan kaget"

Ku picingkan mata lantas memukul lengannya. "Dasaarrr.."

"Hahaha" tawa yang menambah kadar manisnya sukses membuatku beku.

"Pita! Yee malah bengong" tambahnya.

Dan hari ini aku diantar pulang oleh Mara. Aku ingat sekali saat berada tepat di depan pintu, dan sebelum dia pergi, dia teriakkan kalimat "Pita, tadi sudah ku hubungkan pin mu pada pin ku. Jika kangen bbm saja." Lantas hilanglah dia ditelan jalanan seberang. "Jadi anak itu meminjam ponselku hanya untuk hubungkan pin bbm, dasaarr!!" Dan aku menutup pintu.

Bersambung...

Melepas Lalu #1

Terpuruk itu aku, oleh kenangan lalu yang enggan hilang. Aku masih sendiri. Tidak tahu, rasanya malas saja memulai hubungan baru dengan manusia yang baru pula. Biar saja senja yang jadi kekasihku dan hujan jadi yang kedua. Aku tengah berada di tempat favorite ku, tempat dimana aku selalu habiskan sore dengan senja. Bangku taman dekat pohon rindang. Seperti biasa ku pejamkan mata untuk legakan nafas lepaskan segala penat jiwa yang menumpuk sejak pagi.

"Nona, boleh saya pinjam ponselnya?"

Dan demi mendengar bunyian kalimat itu, mau tak mau aku harus membuka mata. Dan ku dapati lelaki berada depanku dengan wajah yang aneh. Manis? Ya sedikit, dan dia cukup  tampan. Ku picingkan mata lantas menjawab. "Harus kupinjamkan ponselku pada orang yang tak ku kenal?" Orang itu diam, tengah menyusun kalimat yang entah jadinya bagaimana.

"Namaku Mara nona, sekarang bolehkah aku pinjam ponselnya?"

"Bodoh. Aakk baiklah ini, pakai dekatku saja. Duduklah di sebelah sini" aku menunjuk tempat kosong di sebelahku. Dia mengiyakan dan tak lama sudah sibuk dengan ponsel milikku. Dia berhasil palingkanku dari senja. Tuhan kenapa dia manis sekali! Jeritku pada hati.

Bersambung....

Rabu, 26 November 2014

Tuan,

Seperti diamnya kayu yang dilahap api, diamnya tanah yang dikeroyok oleh hujan. Kau boleh berbangga hati sebab berhasil jatuhkanku. Aku bodoh cintaimu, sebab pura-pura buta akan segala burukmu. Aku cinta topengmu tuan, kenapa tak kau buat permanen saja topeng itu pada hatimu. Aku senang di hubungimu, lantas sesaat kembali takut akan wajah di balik topeng itu. Ku bilang kau jahat, permainkan hati demi puasmu taklukanku. Ku bilang kamu kurang ajar, sudah tau menyakiti namun masih bisa biasa saja mengajakku kembali. Tuan, sadarkah kau bahwa aku ini lemah? Mudah sekali rapuh, remuk, terpuruk dan mati. Harusnya kau tak lakukan ini. Harusnya kau tak bohong bersihkan muka. Tuan, aku ingin jumpa denganmu sebenarnya. Bukan untuk kau buat mati, tapi untuk kau lindungi dari segala api. Tuan, boleh ku bilang aku muak dalam rasa yang masih bisa disebut pengharapan cinta. Tuan, aku tidak ingin mencintaimu.

Selasa, 25 November 2014

Dear Kapten

Dear, Kapten

Dalam sepi aku merindukanmu, dekap ragaku seorang diri. Aku tidak tahu apa jadinya aku tanpa kamu. Mungkin tangis dan tawa tidak akan pernah beradu. Kapten apa kabar kapal yang kau siapkan? Sudahkah bisa membawaku pergi berlayar? Aku ingin sekali bersatu denganmu segera. Melewati arus, menerjang ombak, mengitari gelombang bersama-sama. Kapten, apa benar aku mencintaimu? Hatiku bimbang menimbang rasa. Kapten, bisakah tolong bantu aku? Setidaknya beri aku yakin tentang rasa yang tengah ku landa. Kapten, aku ingin dengar suara kodokmu lagi. Itu benar-benar membuat geli, tetapi aku suka. Kapten, sudahkah kau berhenti merindukanku? Aku suka susah tidur jika tahu kau tengah tak enak makan karena rindu aku. Kapten, apakah aku terlalu berlebihan?
Kapten, aku ingin bernyanyi dekat telingamu. Lagu bersama bintang yang sempat kau pinta. Namun seperti yang kau tahu, aku teramatlah malu.
Apakah ini sudah teralalu menyebalkan untuk dibaca? Baiklah ku akhiri sampai di sini saja. Selamat pagi kapten. Mimpi indah..

Dariku,

Gadis biasamu.

Jumat, 21 November 2014

Duapuluhsatu Novemberku

Selamat sore duniaku
Halo sepi
Halo gelap
Selamat datang rintik pada pipi
Hatiku remuk
Otakku mati
Bila bisa
Ingin rasanya aku pergi
Agar segala bebanmu musnah
Sirna
Dan akhirnya
Hanya tawalah yang akan hiasi
Paras cantikmu

Maaf aku terlalu bodoh
Maaf aku tak buatmu senang
Maaf selalu membuatmu lelah
Maaf sering membuatmu berteman dengan tissue

Mungkin permohonan maaf ini tak akan pernah sampai pada hadapmu
Tak akan pernah sempat kau baca
Namun pegang impiku
Membuatmu bahagia adalah salah satu hal yang akan ku wujudkan


Kamis, 20 November 2014

Aku

Aku biasa
Kecil
Tak istimewa
Tak berharap apapun
Bisa dekat dengannya saja
Aku senang
Hampir mati

Biarkan Aku, Tetap Menyukaimu

Biar saja
Aku tak peduli
Selama kelopakmu masih berkedip
Aku tak masalah
Selama ku masih lihat
Senyummu menyungging
Kurasa aku
Kan baik baik saja
Tidak perlu
Menjadi malu
Karena kamu
Tidak menyukaiku
Cukup kamu tahu
Aku ingin meminta ijinmu
Sekiranya mahu
Biarkan aku
Tetap menyukaimu



Rabu, 19 November 2014

 "Bi, bila telah libur nanti kau ingin kemana?"

Bintang diam mendengar pertanyaan Bastian. Nampak berpikir, tak lama kemudian berseru.

"Bas! Aku tahu aku ingin kemana."

"Kemana Bi?"

"Lombok, Bas. Gili." ucap Bi dengan senyum mengembang— tampak lucu, menggemaskan.

"Kenapa Lombok?"

"Kau tahu aku suka senja?" Sekali lagi Bintang tersenyum

"Aku kekasihmu sayang, mana mungkin aku tak tahu."

"Aku pernah baca Bas, Gili tempatnya indah. Aku ingin sekali menikmati senja di sana. A... pasti akan indah sekali jika aku menikmatinya berdua denganmu." Bi memeluk kekasihnya manja.

"Liburan ini kita ke Lombok." Bas memainkan jemarinya di rambut sebahu milik Bi.

"Serius, Bas?" Bi menatap Bas dengan muka lucunya.

"Iya sayang" Bas mencubit hidung kekasihnya, dan mereka tertawa bersama, dalam peluk.

— Bas, aku senang bersanding denganmu. Kau selalu lakukan apapun yang ku ingin. Pendapatku selalu kau tampung. Setiap mimpi kecilku selalu kau bantu wujudkan. Bas, aku bahagia sekali. (Pikir Bi di sela tawa)

Selasa, 18 November 2014

Hey, Kamu

Apa kabar?
Masih sanggup melangkah tanpaku kan?
Masih bernafas?
Masih sanggup bekerja?

Hehe
Kupikir telah tak di sini lagi

Sebab dulu katanya
Aku ini segalanya
Sebab dulu bilangnya
Tanpa aku kau tak sanggup hidup

Senin, 17 November 2014

Iri


Iri
Bisa jadi
Mereka bisa berbagi
Aku, hanya bisa sendiri
Iri
Barangkali
Mereka bisa tertawa berulang kali
Aku hanya bisa terisak setiap hari
— Rapuh
Kuatku separuh
Selalu banyak keluh

Sabtu, 15 November 2014

Bagai Boneka

Selamat siang sayang
Masihkah aku kau kenang
Ataukah aku ini hanyalah kunang-kunang

Yang menyalai hatimu sekali
Kemudian kau buat mati

Kasih
Apakah di hatimu namaku masih

Bila kau selalu berkata
Pada semua-muanya
Bahwa kau tak pernah bersama
Kau anggap aku ini apa

Benar aku tak menyangka
Lelaki yang ku cinta
Tak pernah kembali mencinta
Hanya menjadikanku mainan, bagai boneka