Rabu, 25 Februari 2015

Elyana

"Iya sayang, lima menit lagi aku akan sampai". "Cepatlah sedikit, By". Sambungan terputus, dan aku belum sadar.

***
Elyana bilang aku ini lelaki yang menyebalkan, selalu terlambat datang saat kencan, dan teledor. "Aku juga mencintaimu, Hasbby". Aku selalu suka mimik muka Elyana saat berujar dia mencintaiku. Pipinya bersemu merah, dan bibirnya, membentuk lengkung senyum. Elyana cantik, aku tak bohong. Dia gadis yang ajaib, tahan menghadapi lelaki sepertiku.
***
"Temukan gadis lain yang lebih tahan menghadapi lelaki sepertimu, By". "Tapi, El". Dia memejam. Aku diam.

***
"Hasbby, kau akan terlambat lagi? Bahkan di kencan terakhir sebelum aku pergi ke Inggris?". "Iya sayang, lima menit lagi aku akan sampai". "Cepatlah sedikit, By". Sambungan terputus.

Aku sampai dalam waktu dua puluh menit. Elyana sudah tidak ada. "Mas...". Seseorang menyapaku.

***
Aku memacu motorku secepat yang aku bisa. Pejelasan singkat mbak-mbak yang tadi sudah cukup membuatku memiliki alasan untuk itu. Aku sampai di tempat tujuan, merapat menuju parkiran. Melangkah cepat melewati lorong-lorong. Langkah ku terhenti. "Elyana?" Aku kaku melihat Elyana, gadis yang ku cintai terbaring lemah di ranjang rumah sakit.
***
"Temukan gadis lain yang lebih tahan menghadapi lelaki sepertimu, By". "Tapi, El". Dia memejam. Aku diam. Semuanya cemas, aku juga. "Maaf.." Dokter bilang dia tidak akan bangun lagi.

***
"Hasbby, kau akan terlambat lagi? Bahkan di kencan terakhir sebelum aku pergi ke Inggris?". "Iya sayang, lima menit lagi aku akan sampai". "Cepatlah sedikit, By". Sambungan terputus, dan aku sadar tak seharusnya aku datang terlambat.

Sumber: Google
Alunan kidung senja, menggema tak bersuara.
Segala sesal tak dapat ku ingkari keberadaannya. Gelap, sunyi menangis terluka.
Beribu dosa, terngiang mengalun. Bisa-bisanya aku tak sadar kau tengah dihinggapi parasit mematikan. Aku memang lelakimu yang payah.
"El, aku masih suka menatap kerling bola matamu, dalam potret yang ada di ponselku".

Pundakku ditepuk. "Ayah, ayo main bola sebelum bunda mengomel tentang maghrib yang sebentar lagi tiba".

Larasati-Tenggelam Ditelan Keabadian

Jumat, 20 Februari 2015

Kamis, 19 Februari 2015

Siapa Namamu?

#1
Aku melihat dia. Di sana untuk yang pertama. Aku suka matanya, bibirnya. Raut wajahnya meneduhkan. Dia gadis pertama yang membuat detak jantungku tak terkendali bunyinya.

Di minggu berikutnya ku beranikan diriku untuk menyapanya. "Hi...!" Kataku. Dia hanya menoleh dan tersenyum. Aku sempurna beku. Saat itu dia menatapku lama. Lantas berkata "Ya?" Aku lari. Meninggalkan dia yang kebingungan sendiri.

Besoknya tak ku temui dia lagi di tempat biasa. Hatiku sesak. Harusnya tak ku siakan kesempatan kemarin. Apa kabar dia hari ini?

#2
Aku melihat dia. Di seberang sana. Karenanya aku menjadi sering berada di sini. Aku suka senyumnya. Senyumnya menyemangatiku. Dia lelaki pertama yang membuatku gila. Membuatku betah berlama-lama di tempat ini sendiri.

Di minggu berikutnya. Lelaki itu menyapaku. "Hi...!" Katanya. Aku kaget. Aku senang. Aku menoleh dan tersenyum padanya. Menatapnya lama karena tidak tahu harus berkata apa. Akhirnya ku katakan "Ya?" Dan kemudian dia lari. Aku kecewa. Dia kenapa?

#3
Di seberang jalan sana ada gaduh yang teramat gaduh. Orang-orang bergerombol di tengah jalan. Lelaki itu memutuskan untuk bertanya pada seorang. "Ada apa?" "Ada perempuan yang baru saja tertabrak" Lelaki itu tiba-tiba merasa sakit. Langkah kakinya perlahan menuju ke tengah kerumunan. Air matanya menetes dengan sendiri. Dia mengenali wajah seorang yang kini beku penuh darah. Perlahan bibirnya bergerak "Siapa namamu?"

#4
Gadis itu kini beku di tengah jalan sana. Dia menangis. "Aku tak akan bisa melihat lelaki itu beserta senyumnya" Dia menoleh, seperti mengenali bunyi langkah itu. Benar langkah lelakinya. Gadis itu riang bukan kepalang. "Setidaknya aku bisa melihat lelaki ini untuk yang terakhir. Eh, tunggu. Aku baru sadar saat menangis pun lelaki ini nampak tampan, ah.. siapa namamu?"

Kamis, 12 Februari 2015

[Lagi] Untuk, Semuaku


Selamat siang, bu.
Ku sempatkan menulis ini untuk ibu sebelum aku pergi bekerja. Iya, bu. Hari ini aku mendapat giliran untuk masuk siang.

Bu, aku rindu sekali. Apalah aku ini, baru juga selasa kemarin pulang ke rumah. Sekarang sudah main rindu lagi saja.

Ibu tahu sendirikan? Betapa aku tak pernah pisah dengan ibu. Sekalinya pisah, harus pisah sejauh ini. (Ya setidaknya menurutku jauh). Aku jadi harus menahan semuanya. Ibu pasti paham apa yang harus aku tahan. Melihat senyum ibu adalah salah satunya.

Bu, aku ingin menulis sepiring tentang ibu. Semoga ibu tidak marah.

Di mataku ibu itu baik, dan aku ingin baik seperti ibu. Ibu itu penyabar, dan aku ingin bisa sabar sesabar ibu. Ibu itu cantik, cantik dalam segala aspek, dan aku juga ingin cantik, cantik yang seperti ibu. Dan ya di mataku ibu teramat menyayangiku, dan aku selalu ingin menandingi itu, aku ingin menyanyangi ibu lebih. Apa aku bisa bu? Bu, sudahkah ini penuh sepiring?

Apa ibu marah aku hanya tahu sedikit saja tentang ibu? Bu?

Tuh kan ibu nangis. Ibu pasti kecewa.

Kuberi tahu rahasia ya, bu. Dan ibu harus janji tidak akan marah padaku.

"Aku sangat sayang, ibu..."


Kasihmu pelukku sejauh ini.
Doamu kuatkan aku, yang sendiri saja di sini.
Semoga ibu selalu baik di Kediri.

Surabaya, 13 Februari 2015
Untuk semuaku,
Ibu

Rabu, 04 Februari 2015

Hidup?

#1
Aku benci ibuku. Aku merasa dia tak menyanyangiku. Bagaimana bisa kusebut dia sayang? Kalau kerjanya hanya menitipkanku pada tante. Lalu pergi selama bertahun-tahun.

Aku benci ibuku. Aku tidak bisa mengerti segala hal tentangnya. Bagaimana bisa mengerti? Bersama saja aku tak pernah. Sekalinya dia pulang, aku tak mampu bertanya apapun, karena dia terasa begitu asing.

Aku benci ibuku. Karena aku tak bisa memeluknya bebas, sebebas temanku memeluk ibunya. Bagaimana bisa memeluk? Ditinggalnya lama membuat aku canggung jika berhadapan dengannya.

Aku benci ibuku. Tak pernah bisa aku bercerita banyak hal padanya. Bagaimana bisa cerita? Memandangnya saja aku takut.

Belasan tahun, aku benci ibuku.

#2
Aku cinta anakku. Aku yakin anakku juga demikian cinta padaku. Saking cintanya aku rela pergi jauh dari sisinya, menahan rindu, menahan segala. Menjadi TKW aku rela.

Aku cinta anakku. Segala hal tentangnya aku paham. Kakakku bererita banyak. Dia tumbuh menjadi gadis yang cantik. Tidak neko-neko seperti gadis-gadis lain di jaman ini.

Aku cinta anakku. Aku selalu ingin memeluknya. Membelai rambutnya. Selalu. Tapi kepergianku selama tahunan itu membuatnya sedikit menjauhiku. Jadi, aku hanya bisa memeluknya kala ia tertidur. Tidak apa itu sudah sangat cukup.

Aku cinta anakku. Aku selalu ingin mendengarkan segala bentuk hari-harinya. Tapi sayang dia tak pernah cerita. Untung saja dia selalu menulisnya di buku harian. Jadi aku bisa baca.

Seumur hidup, aku mencintai anakku.

#3
Aku ingin menulis keluhku lagi hari ini. Tapi aku menemui tulisan orang lain di buku harianku. Penanya warna biru. 

Ibu mencintaimu, peluk ibu jika kau ingin peluk. Bercerita saja jika ingin cerita. Ibu tidak akan kemana-mana. Ibu menunggumu.

Untuk; Semuaku

Aku belum pernah serindu ini kala ditinggalkanmu. Ya, menangis aku pernah, tapi tak sesesak ini merasa.
-Aku-

Dan ini aku mengaku. Ternyata jauh dari sisimu, serapuh ini aku. Ternyata tak memandang wajahmu sesakit ini merasa. Dan ternyata tak mendengar omelmu, aku, aku seperti kehilangan hal besar yang teramat besar.

Aku menangis. Aku tak malu mengakui ini. Jika ada tubuhmu di sini mungkin sudah sukses ku peluk. Seharian ini aku banyak diam. Hanya jemari yang bergerak-gerak mengambil helai-helai tisu. Maafkan aku tetap saja lemah.

Kepadamu aku cinta, secinta-cintanya. Oh, betapa juangmu tak ternilai. Biarkan, biarkan ku habiskan tangisku malam ini.

Dan ini aku berjanji. Membuatmu bahagia akan aku lakukan. Membuat diriku kuat sekuat inginmu. Membuat hatiku tangguh setangguh harapmu. Membuat esokku cerah secerah doa-doamu.

Dan ini sekali lagi aku mengaku. Memelukmu setiap waktu ingin aku lakukan.

Semuaku.
Betapa tanpamu
Aku tak bisa apa-apa
Betapa tanpamu
Semuanya terasa berat.

Semuaku.
Tunggu aku,
Meski ku tahu, tanpa surat perintah pun,
Kau akan setia menunggu.

Semuaku.
Juangku untukmu.
Hanya untukmu.

Semuaku.
Ibu.

Surabaya, 4 Februari 2015
Ku tulis ini untuk malaikat cantikku, Ibu.

Sabtu, 24 Januari 2015

Ia Yang Pulang Pagi


Pekikan wanita itu seratus kali lebih menyeramkan dari raungan serigala. Mendengarnya telingaku ngilu. Kakiku penasaran, melangkah sok berani menyusuri tempat gelap, arah pekikan itu berasal.

Aku dibuat bengong oleh seorang wanita. Dalam gelap, parasnya aduhai rupawan. Di bawah kakinya tergolek payah tiga lelaki tak berbusana. Mulutku jatuh menganga. Tiga lelaki digigitinya satu-satu. Tubuhku ikut ngilu, wanita itu mengigit penuh nafsu. Aku menelan ludah, oleh keringat, tubuhku basah.

"Dia manusia atau..?" Wanita itu menatap tajam arahku. Aku melongo. Sial, aku ketahuan. Kakiku beranacang-ancang akan lari. Gagal.

Wanita itu sudah berada di hadapku. Aku menatap matanya lekat-lekat. Dia melempar berlembar uang depan mukaku. "Ini uang untuk sekolahmu" Seketika aku beku. Aku kenal wanita ini. Wajahnya tak asing. Pelan mulutku terbuka "Ibu?? Jadi ini alasan di balik seringnya ia pulang pagi?" Aku menatap punggung ibuku yang semakin jauh, lenyap.

Tulisan ini diikut sertakan dalam Giveaway 100 Post di www.doddyrakhmat.com